Sabtu, 05 Januari 2008

SMK SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB

PENDIDIKAN KEJURUAN Siapa yang harus bertanggung jawab?

Seorang anak yang terampil dan berbakat, bercita-cita menjadi teknisi. Dia masuk sekolah kejuruan otomotif. Seharusnya dia menghabiskan sebagian besar waktu pelatihannya di bengkel kerja, tetapi di sekolah itu hanya ada satu mobil praktek yang bisa untuk latihan, dan ada dua mesin lain mendongkrok di pojok dalam kondisi memprihatinkan. Karena ada 36 anak dalam 1 kelas yang harus belajar otomotif maka guru menempel gambar mobil dan mesin yang besar, dan berjam-jam menjelaskan kerja mesin itu di depan anak-anak yang sebagian mengantuk dan sebagian lain mengobrol dengan temannya. Ketika anak tersebut lulus dan melamar pekerjaan, dia dites untuk menaangani service ringan, Dia termangu-mangu dan bingung. Jangankan mengerjakan tugas, pakai alatpun dia tidak tahu.
Itulah sekilas situasi pendidikan kejuruan di negeri kita. Di satu sisi negara dan industri membutuhkan tenaga-tenaga kerja terampil dari sekolah-sekolah kejuruan. Di sisi lain, pendidikan kejuruan yang berkualitas belum mendapat penghargaan yang layak dari masyarakat dan pemerintah. Selaian itu pengangguran semakin ertamah setiap tahun, baik yang tidak berpendidikan, maupun yang bergelar sarjana. Tetapi, begitu sulit menemukan tenaga kerja yang benar-benar siap pakai dibidangnya.
Sedangkan informasi yang cukup meyakinkan bahwa SMK pada tahun 2010 akan lebih banyak jumlahnya dibanding SMA, hingga akhirnya mencapai perbandingan 70% jumlah SMK dan 30% jumlah SMA. Dengan kondisi seperti ini tentunya membutuhkan tenaga yang profesional, dana yang cukup, sarana yang memadai dan management yang baik. Bagaimanakah sistem pendidikan kejuruan kita?

Pendidikan/Pelatihan yang berorientasi pasar
Depdiknas, menegaskan sebuah kebijakan umum untuk menata sistem pendidikan kejuruan di setiap wilayah/daerah dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mengacu pada kecenderungan kebutuhan pasar kerja, baik secara regional, nasional, maupun global. Kebijakan ini adalah kenyataan, SDM kita tidak mampu bersaing secara global karena pola pembelajaran yang telah diimplementasikan bertahun-tahun ternyata tidak mampu menghasilkan kualitas tamatan yang memenuhi standar kompetensi tempat kerja.
Kalau kita tinjau kebijakan ini antara lain menyoroti pentingnya dua hal. Pertama, jenis program diklat harus dikembangkan atas dasar tuntutan kebutuhan dunia kerja (market driven atau demand driven). Kedua, program pembelajaran harus dikembangkan dan dilaksanakan mengacu pada pencapaian berbasis kompetensi (competency based training/CBT).
Dalam konteks pendidikan kejuruan tehnik, ada dua asumsi dasar yang perlu diperjelas. Market driven dalam pasar tenaga kerja berarti tenaga kerja yang mampu menghasilkan satu produk barang/jasa yang bisa dijual, bisa dipakai atau tidak. Konsekuensinya, pengertian kompetensi yang diartikan sebagai kemampuan untuk mentransfer ketrampilan dan pengetahuan pada kondisi tempat kerja, merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan, serta mengatasi persoalan yang timbul dalam pekerjaan, hanya bisa dijamin bila siswa terlatih untuk menghadapi tuntutan pasar yang sering tidak mengenal kompromi.
Satu metode diklat yang sudah teruji efisiensi dan efektivitasnya adalah production based training, di mana siswa dikondisikan sejak awal pada tuntutan nyata pasar industri, dan dilatih sampai bisa menghasilkan benda kerja yang bisa dijualMelalui metode ini siswa dilatih untuk mencapai tingkat kualitas yang sesuai tuntutan pasar. Siswa juga dibekali untuk mampu bekerja dengan tingkat efisiensi tinggi sehingga bisa menekan biaya produksi, yang akhirnya akan mampu meningkatkan daya jual produk itu. Tanpa kemampuan dasar ini, CBT dalam artian di atas mungkin bisa menghasilkan tenaga kerja yang kompeten, dan tidak mampu bersaing.

"Production based training"
Di negara-negara maju, biaya penyelenggaraan pendidikan kejuruan ini ditopang sepenuhnya oleh negara atau industri. Tetapi, di negara kita hal ini belum bisa diharapkan, baik dari pemerintah maupun industri. Dana penyelenggaraan sekolah kejuruan harus diusahakan sendiri. Maka, beberapa sekolah kejuruan mencoba menerapkan production based training dengan mengintegrasikan unit produksi dalam sistem pendidikannya.
Untuk sekolah menengah kejuruan, digunakan dasar Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP Nomor 29 Tahun 1990 Bab XI tentang Pembiayaan, khususnya Pasal 29 Ayat 2. Disebutkan, "untuk mempersiapkan siswa Sekolah Menengah Kejuruan menjadi tenaga kerja, pada sekolah kejuruan dapat didirikan unit produksi yang beroperasi secara profesional dengan pengertian bahwa--pekerjaan yang dikerjakan berorientasi pasar, mampu bersaing dalam harga, mutu, pelayanan dan waktu pengiriman (marketable), serta dikelola secara bertanggung jawab (accountable)".
Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 0490/II/1992 Bab XIII Pasal 30 Ayat 1 mempertegas, kegiatan unit produksi meliputi: mengorientasikan kegiatan belajar siswa pada jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan barang atau jasa yang layak untuk dijual.Dari sekian sekolah kejuruan yang mengusahakan unit produksi, hanya sedikit yang sungguh berhasil. Diakui, memang tidak mudah mengelolanya. Selain ada kendala biaya investasi dan operasional yang amat tinggi, juga masih ditambah kendala-kendala internal dan eksternal lain.
Kendala-kendala itu antara lain: pertama, kendala manajemen. Menjalankan unit produksi dalam satu sistem pendidikan adalah seperti mengendalikan dua kuda yang berlari ke arah berlawanan. Secara alamiah dorongan produksi untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya akan dengan mudah mengaburkan misi pendidikan yang murni bersifat sosial. Karena itu dibutuhkan sebuah manajemen yang bervisi jelas dan tegas, yang selalu siap berada dalam dua ketegangan tersebut
Kedua, kendala strategi bisnis. Biaya operasional dari unit produksi yang menopang pendidikan ini akan menjadi tinggi sehingga daya saing bisnisnya akan berkurang. Pabrik atau industri pada umumnya tidak akan mengoperasikan mesin-mesin bila tidak ada pesanan. Sedangkan unit produksi di sekolah kejuruan harus tetap menjalankan mesin-mesinnya, meski tidak ada pesanan dari luar, supaya siswa bisa tetap berlatih.
Ketiga, ketiadaan perlindungan terhadap beban pajak keuntungan. Tidak adanya peraturan pemerintah yang secara tegas melindungi unit produksi milik sekolah kejuruan, membuat sekolah kejuruan ada pada posisi sulit berkaitan dengan pajak. Sekolah kejuruan yang berkualitas hanya mungkin terwujud bila selalu diusahakan reinvestasi dalam permesinan dan teknologi.
Sebagai kesimpulan bisa dikatakan, dibutuhkan sebuah usaha menyeluruh untuk menyelamatkan situasi pendidikan kejuruan di negeri ini. Tidak hanya metode diklat dan pembinaan SDM yang mengelola sekolah kejuruan yang harus diperhatikan, tetapi juga kelangsungan hidup dalam jangka panjang dari sekolah kejuruan itu melalui produk-produk hukum yang melindunginya.
Seandainya perubahan tidak dilakukan, barangkali tidak hanya sekolah kejuruan saja yang akan hancur, tetapi juga terancamnya perekonomian bangsa ini. Kalau demikian SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB??..........

ANALISA DAN PERBAIKAN KOPLING

I. Diagnosa dan Perbaikan Kerusakan Kopling. Memelihara kopling dapat dibagi menjadi tiga jenis :\ a. Pemeliharaan preventif. Memeriks...